KUALITAS
guru merupakan faktor utama penentu keberhasilan fasilitasi pendidikan ialah
hal yang tak terbantahkan. Hanya saja, dengan melihat kompetensi profesional
dan pedagogis guru dalam hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) 2015 dan sebelumnya
UKG 2012, cita-cita tentang ketersediaan guru-guru yang sekadar layak untuk
mengajar masih `jauh panggang dari api’.
Betapa
tidak. Terlepas dari soal validitas atau reliabilitas terkait kedua UKG ini,
nilai rata-rata hasil uji kompetensi guru secara nasional adalah di bawah 50
untuk skala nilai 0-100. Hasil ini dengan jelas menunjukkan bahwa sebagian
besar guru tidak menguasai materi ajar serta tidak mampu memfasilitasi
pembelajaran.
Selain kompetensi guru hanya salah satu komponen dari sebuah sistem pendidikan, penjelasan kuantitatif harus dilihat sebagai generalisasi—seperti puncak gunung es yang kecil ketika di bawahnya terdapat struktur yang lebih besar yang tak kasat mata.
Selain kompetensi guru hanya salah satu komponen dari sebuah sistem pendidikan, penjelasan kuantitatif harus dilihat sebagai generalisasi—seperti puncak gunung es yang kecil ketika di bawahnya terdapat struktur yang lebih besar yang tak kasat mata.
Bagaimanakah
dinamika pendidikan guru di Indonesia dan kenapa masalah inkompetensi ini bisa
terjadi?
Belajar
dari sejarah
Sekolah
guru pertama di Indonesia adalah Kweekschool atau Pedagogische
academie voor het basisonderwijs (Akademi Pedagogis untuk Pendidikan
Dasar) yang didirikan sejak 1834. Pendirian sekolah guru ini didasari kebutuhan
guru-guru yang bisa mendidik calon-calon pegawai rendahan bagi pemerintahan
kolonial Belanda. Tujuan sistem pendidikan guru bersifat fungsional dan
vokasional.
Seiring
mulai menguatnya pengaruh Politik Etis dalam ranah pendidikan di Indonesia,
tumbuh pula sekolahsekolah pribumi di awal abad ke-20 serta berkembangnya
pendidikan Islam tradisional.
Pendidikan
sebagai usaha liberasi itu melengkapi tujuan vokasional ala kolonialisme
Belanda dan humanitarianisme Politik Etis.
Sistem
pendidikan guru pribumi—yang sejak sebelum kemerdekaan dikembangkan
organisasi-organisasi kemasyarakatan–memiliki warna tambahan. Sebagai contoh,
Mu’allimin Muhammadiyah, yang berarti sekolah guru yang dikelola Muhammadiyah,
memasukkan unsur ideologis dalam tujuan pendidikannya. Demikian juga halnya
sekolah-sekolah yang dikelola Sarekat Islam, NU, dan organisasi lainnya.
Pascakemerdekaan,
sistem pendidikan guru diwarnai dialektika antara konsep etis dan sistem
pendidikan kolonial dengan dinamika sebuah negara baru: kebutuhan akan
masifikasi pendidikan, pembangunan sistem pemerintahan dan ekonomi, serta
pergumulan ideologis antara liberalisme, sosialisme, dan paham-paham keagamaan.
Dengan
meneruskan konsep fungsional dari zaman kolonial, terdapat sekolah guru bawah
bagi calon guru SD dan sekolah guru atas bagi calon guru sekolah menengah
sebelum keduanya berevolusi menjadi Sekolah Pendidikan Guru (SPG), Pendidikan
Guru Agama (PGA), dan seterusnya.
Untuk
mengikuti pergeseran kualifikasi formal keguruan, dibukalah fakultas pendidikan
di PTN dan swasta, yang kemudian berevolusi menjadi IKIP, Sekolah Tinggi
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP), dan sebagainya. Setelah lebih dari tujuh
dekade kemerdekaan, kini kita mengenal Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) dan
IKIP berevolusi menjadi Universitas Negeri.
Di balik
berbagai perkembangan yang cenderung simbolik dan trendi pasca kemerdekaan,
salah satu yang luput dari kesadaran kita ialah bahwa telah terjadi apa yang
bisa disebut sebagai involusi pendidikan guru–sebab yang melahirkan
inkompetensi guru.
Mengapa
involusi?
Pertama,
konsep vokasional dari pendidikan guru mengandaikan keluaran berupa calon guru
yang bisa memfasilitasi pembelajaran sesuai dengan kecakapan yang harus
dimiliki siswa. Orientasi dari sistem pendidikannya adalah adanya keterampilan
mulai dari mempersiapkan, menyelenggarakan, dan mengevaluasi pembelajaran.
Inheren di dalamnya, tentu saja, kecakapan dalam hal materi pembelajaran.
Kenyataannya
sekarang, setidaknya sejak tersedianya data hasil uji kompetensi guru dalam
satu dekade terakhir, guru-guru yang mendidik anak-anak bangsa ini rata-rata
tidak cakap mengajar dan juga tidak cakap dalam materi pelajaran.
Salah
satu penjelasan, yang juga ditemukan dalam sitem pendidikan guru di Amerika
(Rita Kramer, 1991), ialah bahwa lembaga-lembaga yang seyogianya mendidik para
calon guru supaya terampil mengajar terjebak dalam daur kuliah tentang
pendidikan dan bukan berlatih secara memadai untuk memfasilitasi pendidikan.
Alhasil,
seperti aforisme Konfusius, yang terjadi adalah i hear, i forget–ketidaktahuan
karena sistem pembelajaran yang lebih banyak `menguliahi’. Pendidikan guru
tidak pernah sampai pada tahap i see i remember, apalagi sampai
pada tahap i do i understand–menjadi benar-benar mengerti karena
sudah terlatih mempraktikkannya.
Kedua,
konsep etis dan liberasi dalam pendidikan guru–yang sudah digagas sejak abad
ke-19—mengandaikan keluaran berupa calon-calon guru yang memiliki kesadaran
sosial dan mampu menjadi aktor yang mendorong transformasi masyarakat.Faktanya,
sebagian besar guru-guru saat ini bermental `pegawai’ (setidaknya berdasarkan
data World Bank, 2010), yang sibuk berhitung dengan besaran gaji dan bukan
prestasi.
Di sini
terjadi pergeseran orientasi pendidikan guru, dari tujuan-tujuan transformatif
menjadi sangat fungsional, mekanikal dan ekonomis.
Ketiga,
ketika sekolah-sekolah guru pribumi didirikan di awal abad ke-20 oleh berbagai
organisasi kemasyarakatan, agama menjadi salah satu driving force bagi
perjuangan menuju kemerdekaan. Islam, sebagai contoh, dipahami tidak semata-mata
agama ibadah atau hukum, tetapi lebih konkret sebagai agama yang juga
mewajibkan penganutnya untuk membebaskan diri dan masyarakat dari tirani
penjajahan.
Ketika
terjadi pergeseran kondisi real, dari terjajah secara fisik menjadi tidak
terjajah, dialektika yang dinamis perlahan-lahan berganti menjadi monolog,
yakni menjamur dan mengerasnya suara agama dalam berbagai bentuk wacana dan
gerakan yang mengabaikan pluralitas dan interaksi sosial. Ketika ranah
pendidikan dimasuki monolog ini, unsur agama dalam pendidikan yang sebelumnya
bersifat liberatif berubah menjadi muatanmuatan ideologis yang justru
menyebabkan terjadinya involusi.
Pembaruan
pendidikan guru
Pembaruan
pendidikan guru setidaknya harus mengakhiri ketiga bentuk involusi di
atas.Pertama, diperlukan pendidikan guru yang berbasis pada praktikalitas,
bukan melulu kuliah-kuliah konseptual.
Kedua,
landasan etis keguruan juga hendaknya tidak lagi semata-mata dikuliahkan atau
dihapal supaya bisa menjawab soal ujian. Perlu ada sistem pendidikan guru yang
memungkinkan terjadinya internalisasi nilai-nilai keguruan–seperti rangkaian
kegiatan community service yang memungkinkan dan menjamin
terjadinya dialektika antara pengetahuan etis calon guru dengan realitas
sosial.
Ketiga,
upaya apa pun yang mengarah pada indoktrinasi atas nama ideologi tertentu
merupakan virus yang akan merusak keberlangsungan sistem pendidikan guru.
Agama, umpamanya, mestilah dipahami dan diterima para calon guru sebagai driving
force bagi kohesivitas dan perubahan individu maupun sosial dan bukan
sebaliknya menjadi sumber konflik dan tirani.